Minggu, 19 Juni 2016

M Nuh dan Kisah Nabi Nuh, Metafora Kemendikbud Kita


Nabi Nuh adalah salah satu nabi yang memiliki kaum yang amat keras kepala hingga akhirnya banyak yang tenggelam. Beliau hanya mampu menyelamatkan beberapa pengikut saja yang meyakini beliau ke dalam kapalnya. Kisahnya menjadi pedoman berharga bagi manusia generasi berikutnya sampai kini.

Kisah yang hampir sama dengan nabi Nuh di jaman modern kelihatannya akan terjadi pada lokasi yang berbeda, tepatnya di lembaga terhormat menteri pendidikan dan kebudayaan kita. Meski berbeda status dan penempatannya tapi metafora antara keduanya -bolehlah- dibandingkan.

Jika nabi Nuh memiliki wilayah yang dihuni oleh kaum pembangkang, terlalu pintar dan merasa paling hebat maka M Nuh pun tak lebih dari itu, kini ia berada dalam lingkungan Kementrian (kemendikbud) yang berisikan sejumlah pakar-pakar teramat pintar dengan aneka kepentingan.

Lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mengurus dan mengembangkan sistim pendidikan nasional sejak 19 Agustus 1945 lalu hingga kini telah mencetak 26 menteri . Sejak Ki Hajar Dewantara (Menteri Pengajaran yang pertama) hingga kepada Mohammad Nuh (sejak 22 Oktober 2009 sampai sekarang). Sejak 19 Okotber 2011, lembaga itu hampir setiap saat menimbulkan tanda tanya, selain itu juga  mengalami perubahan nama demi nama sesuai selera petinggi lembaga tersebut.

Selama kurun waktu bersama 26 menteri yang datang dan pergi silih berganti tersebut tercatat 8 kali perubahan nama  lembaga pendidikan ini dengan catatan sebagai berikut :
    1. Pada 19 Agustus 1945, menteri lembaga ini disebut dengan Menteri Pengajaran, dijabat oleh Ki Hajar Dewantara
    2. Pada 29 Januari 1948, menteri lembaga ini disebut dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dijabat oleh Ali Sostroamidjoyo
    3. Pada 22 Agustus 1955, menteri lemabaga ini berubah menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, dijabat oleh RM. Suwandi.
    4. Pada 24 Maret 1956, menteri lembaga ini berubah lagi menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang dijabat oleh Sarino Mangunpranoto.
    5. Pada 10 Juli 1959, menteri lembaga ini berubah lagi menjadi Menteri Muda Pendidikan dan Kebudayaan dijabat oleh Prijono.
    6. Belum sempat memasang plang nama lembaga, pada 18 Februari 1960, kementrian ini berubah nama lagi menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga masih dijabat oleh Prijono.
    7. Pada 23 Oktober 1999, kementrian ini berubah menjadi Kementrian Pendidikan Nasional yang dijabat oleh Yahya Muhaimin.
    8. Pada 19 Oktober 2011, kementrian paling ekslusif satu ini berubah lagi menjadi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang dijabat oleh Mohammad Nuh.
Apa yang dapat kita petik dari kondisi tersebut di atas? Banyak, tapi mari kita ambil sisi psikologisnya saja sehingga kita dapat membaca ada apa dibalik lembaga pendidikan terhormat kita yang satu ini sehingga hampir selalu membingungkan karena terlalu banyak yang sangat pintar  mirip dengan sebuah wilayah pada jaman nabi Nuh dahulu.
    1. Selama 68 tahun berdirinya lembaga ini telah terjadi pertukaran Menteri sebanyak 26 kali. Artinya rata-rata menjabat satu menteri selama 2,61 tahun atau 31,38 bulan atau 941 hari termasuk hari libur nasional, minggu, cuti dan urusan pribadi. Apa yang dapat dilakukan oleh pejabat sekaliber Ki hajar Dewantara sekalipun jika masa jabatannya hanya seumur jagung? Belum lagi pertukaran posisi dilevel di bawahnya yang penuh dengan intrik-intrik membingungkan..
    2. Dalam 68 tahun berdirinya lembaga ini ada 26 menteri terjadi beberapa kali pergantian menteri sebanyak 3 kali dalam satu tahun yaitu pada masa menteri Wiranto Arismunandar (16 Maret 1998) kepada menteri Juwono Sudarsono (23 Mei 1988) lalu beralih lagi kepada Yahya Muhaimin (23 Oktober 1999). Lembaga seperti apa ini kalau tak mau disebut lembaga acak adul?
    3. Terlalu banyak pergantian nama lembaga, kesannya seperti tidak menghargai jasa dan dedikasi para pendahulu mereka, bahkan mungkin menganggap para pendahulu hanya sekumpulan orang-orang yang menganggur, tidak punya visioner dan program bahkan tidak bermutu. Akibatnya yang terjadi adalah hanya memikirkan pergantian nama lembaga saja dan menistakan fondasi dan program yang telah dirintis oleh para pendahulu di lembaga tersebut.
    4. Terlalu banyak orang pintar atau merasa diri lebih pintar  pada laembaga ini sehingga program satu belum selesai muncul program lainnya dengan aneka silang pendapat yang tak habis-habisnya diantara sesama pejabat teras di lembaga tersebut.
    5. Setelah menteri Wardiman lengser dari lembaga ini pada 16 Maret 1998, kesannya lembaga ini dipenuhi oleh pejabat yang bergantung pada aroma politik teramat kental. Seolah para petualang politik dan mafia jabatan mengetahui persisi lembaga ini adalah sebuah lembaga yang amat menggiurkan bertabur tahta dan permata berlian, uang, harta dan aneka kenikmatan lainnya sehingga dijadikan sebagai kendaraan untuk menghasilkan dana untuk tujuan politik.
    6. Selama kurun waktu 68 tahun berdirinya lemabaga pendidikan ini aneka kebijakan dan terobosan yang namanya program dengan nama dan istilah spektakuler dan bombastis sejagad ini terus mengalir. Program demi progam berganti bagaikan air bah menerjang siapapun yang coba menghadangnya. Dari sejumlah program yang ada memang kita akui ada program yang mencapai sasaran, tapi ironisnya banyak juga tidak mencapai sasaran optimal seperti yang tertuang pada rencana awal pembentukan program.
    7. Sejak era Juwono (1999) lembaga pendidikan kita teramat kentara menjadi kendaraan politik dan menjadi sapi perah untuk kepentingan politik. Cita-cita pendidikan yang tercantum dalam UUD 1945 dan UU sisdiknas hanyalah hafalan di luar kepala, namun di dalam hati ternyata berselimut sejuta proyek bertabur uang dan jabatan.
Lihatlah kini, kita disuguhi lagi informasi pembatalan UN di 11 Provinsi kawasan Timur Indoesia. Meskipun M Nuh hari ini menyatakan UN itu bisa berlangsung, apakah bisa berlangsung secara berkualitas? Biasanya pejabat memberikan pernyataan normatif ketika terdesak, bukan?

Lihat juga betapa semangatnya sebagaian pejabat kementrian ini ketika mengupayakan berlakunya Kurikulum 2013, padahal DPR dan sebagian insan pendidikan lainnya yang mengerti betul soal kurikulum dan pendidikan menolak dan berdemonstrasi menentang kurikulum 2013 karena menilai program itu tak lebih hanya proyek bagi-bagi fulus menjelang pemilu 2014.

Jika kemendikbud tidak peka terhadap kepentingan masayarakat umum (meningkatkan mutu pendidikan tanpa berhaluan politik) kelihatannya pengurus lembaga ini memang harus “ditenggelamkan” alias di pensiunkan dini. Mungkin inilah  perumpamaan metafora kisah nabi Nuh yang dikaitkan dengan M Nuh yang kini mengelola sebuah wilayah (lembaga) yang paling kompleks se jagad ini.

Ada pendapat  positif tentang M Nuh. Sebenarnya beliau baik-baik saja, tapi kepentingan internal di dalamnya sangat kompleks sehingga sulit dikendalikan. Akhirnya secara lambat tapi pasti lembaga ini telah menjelma menjadi  lembaga bagi-bagi proyek mengtas namakan mutu pendidikan..

Semoga tulsian ini memberi inspirasi untuk kementrian pendidikan dan kebudayaan kita termasuk untuk pengurus yang mengelola lembaga terhormat ini. Jangan sampai berdusta dengan segudang program yang mengangkat issue peningkatan mutu tapi sebetulnya yang terjadi adalah menciptakan proyek demi proyek dan  hanya  menjadi sapi perah dan mesin politik belaka.
Salam Kompasiana

http://sosbud.kompasiana.com/2013/04/19/dari-jaman-nabi-nuh-sampai-m-nuh-metafora-kemendikbud-kita-552376.html
sumber : http://widiyanto.com/m-nuh-dan-kisah-nabi-nuh-metafora-kemendikbud-kita/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar